Sikap dan perilaku kita akan mencerminkan suasana hati
kita yang terdalam. Melalui renungan hari ini, kita diingatkan bahwa bagaimana
perasaan yang dialami oleh umat Tuhan yang ada dalam pembuangan di Babel,
ketika orang-orang yang menawan mereka meminta mereka untuk menyanyikan
nyanyian sukacita (ay. 3), sementara mereka sedang berada dalam penawanan dan
pembuangan di Babel.
Pemazmur
menggambarkan suasana hati mereka yang dalam keadaan berkabung dan menangis di
tepi sungai-sungai Babel (ay. 1) dan mereka telah menggantungkan kecapi mereka
pada pohon-pohon gandarusa. Mereka telah kehilangan sukacita dan tidak dapat
lagi menyanyikan nyanyian pujian kepada Tuhan karena mengingat akan keadaan
mereka yang berada dalam pembuangan di Babel.
Sekalipun
mereka dalam kondisi seperti itu, namun mereka masih mengingat akan Yerusalem,
yang bagi mereka merupakan tempat kediaman Allah mereka. Bagi orang-orang
Yahudi, Yerusalem merupakan puncak sukacita mereka (ay. 6).
Terkadang
kehidupan kita pun sama seperti kondisi umat Tuhan yang ada dalam pembuangan di
Babel. Tidak ada lagi sukacita karena beratnya beban hidup yang kita alami,
sehingga tidak ada lagi gairah untuk memuji Tuhan. Dalam keadaan seperti itu,
kita perlu belajar dari pribadi Daud yang memiliki hubungan yang dekat dengan
Tuhan dan selalu memiliki hati yang suka memuji Tuhan di setiap waktu. Ketika
menghadapi persoalan yang berat sekalipun, ketika Daud mulai memuji Tuhan, hal
itu mendatangkan sukacita dalam dirinya (Mazmur 34:2-3). Belajar dari hidup
Daud, kita percaya bahwa pujian kepada Tuhan mendatangkan sukacita dalam hidup
kita.
Komentar
Posting Komentar